Sukses pergantian rezim di Mesir menjadi ilham negeri tetangga. Aljazair mulai terguncang.
VIVAnews--Lebih dari 400 orang ditahan polisi di
Aljazair akibat mereka tak mengindahkan larangan aksi massa di ibukota
negeri itu, Aljier, Ahad 13 Februari 2011.
Ketua Liga untuk Mempertahankan Hak Azasi Manusia, Ali Yahia Abdenour, seperti dikutip dari Gulf News, mengatakan di antara mereka yang ditahan terdapat sejumlah wartawan asing.
Para pemrotes itu menuntut perubahan demokratis, dan bentrok dengan
polisi pada Sabtu 12 Februari kemarin. Mereka meminta Presiden Abdul
Aziz Bouteflika turun.
Partai oposisi mengatakan para demonstran telah membuat satu titik
balik penting bagi negeri itu. Mereka berani menabrak larangan aksi
massa yang selama ini diatur oleh Undang-Undang Darurat. Aljazair telah
dicengkeram aturan itu sejak 1992. Tapi kali ini larangan yang
berulangkali diteriakkan rezim itu seakan tak didengar rakyat.
“Demonstrasi ini berhasil karena telah sepuluh tahun rakyat tak bisa
menggelar aksi massa di Aljazair, dan itu menjadi halangan mental,” ujar
Ali Rachedi, bekas pemimpin Front Partai Kekuatan Sosialis. “Rasa takut
telah lenyap”.
Para penggerak aksi itu mengatakan sekitar 26.000 polisi anti huru
hara diturunkan untuk membubarkan aksi massa pada Sabtu lalu. Tapi,
sekitar 10.000 orang berhasil menerobos rintangan polisi. Mereka
menyelinap, dan melompat barikade, lalu berkumpul di pusat kota sebelum
aksi protes dimulai. Para pejabat Aljazair mengatakan jumlah pemrotes
hanya 1.500 orang.
Pemimpin aksi Rally untuk Budaya dan Demokasi, Said Sadi, mengatakan
jumlah polisi yang diterjunkan rezim Aljazair untuk menghalangi aksi
mereka adalah bukti ketakutan penguasa. “Kami akan melanjutkan
demonstrasi, dan terus melawan penguasa sampai mereka tumbang,” ujar
Sadi.
Fadil Bamaleh, Sekretaris Jenderal Koordinasi untuk Perubahan Demokratik di Aljazair (CDCA) mengatakan kepada Gulf News
larangan demonstrasi di Aljazair yang diterapkan selama dua pekan lalu
oleh rezim adalah ilegal. Organisasinya akan mengacuhkan larangan itu.
Bamaleh mengatakan ribuan demonstran dari sekujur negeri itu datang
ke Lapangan 1 Mei. Mereka menunjukkan kepada penguasa jika rakyat
Aljazair tak lagi bisa menerima larangan yang mengekang kebebasan dan
hak berekspresi.
Bamaleh mengatakan sekitar 18 organisasi non-pemerintah terdiri dari
wakil pemuda, aktivis HAM, keluarga tahanan politik serta orang hilang,
telah membentuk grup di Facebook untuk menuntut perubahan rezim di
Aljazair.
"Pembentukan grup semacam itu sebelumnya telah menumbangkan rezim
dikattor di Tunisia dan Mesir. Perkembangan yang berani di kedua negara
Arab itu, betapapun, punya dampak positif kepada anggota grup. Kami
berniat tak akan menghentikan aksi protes di sekujur negeri, sebelum
rezim ini jatuh,” ujarnya.
Bamaleh mengatakan, selaku presiden, Bouteflika telah gagal
menjalankan demokrasi dan mendorong pembangunan ekonomi dan sosial yang
sangat mendesak di negara itu.
Demonstrasi di Aljazair itu berlangsung sehari setelah rakyat Mesir merayakan mundurnya Presiden Housni Mubarak. Menurut harian The New York Times,
para demonstran di Lapangan 1 Mei kompak berteriak, "Bouteflika
mundur!". Para demonstran juga berteriak, "Kemarin Mesir, Hari Ini
Aljazair."
Pan Arabisme baru?
Apa yang terjadi di Aljazair jelas terilhami pergolakan di Mesir.
Bagi pengamat Timur Tengah, Lamis Andoni, revolusi di Mesir itu kian
membuktikan bangkitnya tipe baru Pan Arabisme.
Dulu, solidaritas ini didengungkan pemimpin Mesir dekade 1960an,
Gamal Abdul Nasser. Tujuannya mempersatukan mereka dari penjajahan
bangsa asing dan, belakangan, menjadi energi pemersatu melawan Israel.
Kini, sifat gerakan Pan Arabisme itu berubah. Menurut Andoni,
solidaritas digunakan rakyat negara-negara Arab untuk melawan kekuasaan
tiran di negeri mereka sendiri.
"Tidak seperti Pan Arabisme di masa lalu, gerakan ini mewakili
perjuangan rakyat agar bisa bebas dari ketakutan sekaligus membangkitkan
harga diri mereka untuk menciptakan situasi yang lebih baik di
masyarakat," tulis Andoni di laman stasiun berita Al Jazeera.
Menurut dia, "kearifan" lama dari semangat Pan Arabisme, yaitu bebas
dari penjajahan asing, telah terganti oleh prinsip untuk merdeka dari
penindasan penguasa.
Semangat baru Pan Arabisme itulah yang tengah melanda Dunia Arab.
Motif dan pola perlawanan rakyat di Mesir - negara Arab terbesar -
hingga di Yaman, yang dikenal sebagai anggota termiskin di Liga Arab,
relatif sama. Mereka muak dengan rezim yang terlalu lama berkuasa, tapi
gagal menciptakan keadilan sosial.
Pergolakan itu digerakkan para pemuda di negara-negara Arab itu, yang piawai memanfaatkan teknologi informasi. Para demonstran di Suriah dan Yaman bisa menyaksikan dengan seksama, menit ke menit perkembangan gejolak di Mesir melalui grup di laman media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Pergolakan itu digerakkan para pemuda di negara-negara Arab itu, yang piawai memanfaatkan teknologi informasi. Para demonstran di Suriah dan Yaman bisa menyaksikan dengan seksama, menit ke menit perkembangan gejolak di Mesir melalui grup di laman media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Itu sebabnya seorang eksekutif Google yang juga aktivis perlawanan di
Mesir, Wael Ghonim, berterima kasih kepada pencipta laman Facebook,
Mark Zuckerberg. Berkat layanan gratis Facebook, Ghonim dan para
rekannya bisa membuat sejumlah grup akun mengajak massa turun ke jalan
melawan rezim Mubarak.
"Saya mau ketemu Mark Zuckerberg dan ingin berterima kasih kepada
dia," kata Ghonim tak lama setelah pengumuman Mubarak turun dari
kekuasaan, Jumat malam 11 Februari 2011.