Senin, 14 Februari 2011

Setelah Mesir, Kini Giliran Aljazair

Sukses pergantian rezim di Mesir menjadi ilham negeri tetangga. Aljazair mulai terguncang.

VIVAnews--Lebih dari 400 orang ditahan polisi di Aljazair akibat mereka tak mengindahkan larangan aksi massa di ibukota negeri itu, Aljier, Ahad 13 Februari 2011.

Ketua Liga untuk Mempertahankan Hak Azasi Manusia, Ali Yahia Abdenour, seperti dikutip dari Gulf News, mengatakan di antara mereka yang ditahan terdapat sejumlah wartawan asing.

Para pemrotes itu menuntut perubahan demokratis, dan bentrok dengan polisi pada Sabtu 12 Februari kemarin. Mereka meminta Presiden Abdul Aziz Bouteflika turun.

Partai oposisi mengatakan para demonstran telah membuat satu titik balik penting bagi negeri itu. Mereka berani menabrak larangan aksi massa yang selama ini diatur oleh Undang-Undang Darurat. Aljazair telah dicengkeram aturan itu sejak 1992.  Tapi kali ini larangan yang berulangkali diteriakkan rezim itu seakan tak didengar rakyat.

“Demonstrasi ini berhasil karena telah sepuluh tahun rakyat tak bisa menggelar aksi massa di Aljazair, dan itu menjadi halangan mental,” ujar Ali Rachedi, bekas pemimpin Front Partai Kekuatan Sosialis. “Rasa takut telah lenyap”.

Para penggerak aksi itu mengatakan sekitar 26.000 polisi anti huru hara diturunkan untuk membubarkan aksi massa pada Sabtu lalu. Tapi, sekitar 10.000 orang berhasil menerobos rintangan polisi. Mereka menyelinap, dan melompat barikade, lalu berkumpul di pusat kota sebelum aksi protes dimulai. Para pejabat Aljazair mengatakan jumlah pemrotes hanya 1.500 orang.

Pemimpin aksi Rally untuk Budaya dan Demokasi, Said Sadi, mengatakan jumlah polisi yang diterjunkan rezim Aljazair untuk menghalangi aksi mereka adalah bukti ketakutan penguasa. “Kami akan melanjutkan demonstrasi, dan terus melawan penguasa sampai mereka tumbang,” ujar Sadi.

Fadil Bamaleh, Sekretaris Jenderal Koordinasi untuk Perubahan Demokratik di Aljazair (CDCA) mengatakan kepada Gulf News larangan demonstrasi di Aljazair yang diterapkan selama dua pekan lalu oleh rezim adalah ilegal. Organisasinya akan mengacuhkan larangan itu.
Bamaleh mengatakan ribuan demonstran dari sekujur negeri itu datang ke Lapangan 1 Mei. Mereka menunjukkan kepada penguasa jika rakyat Aljazair tak lagi bisa menerima larangan yang mengekang kebebasan dan hak berekspresi.

Bamaleh mengatakan sekitar 18 organisasi non-pemerintah terdiri dari wakil  pemuda, aktivis HAM, keluarga tahanan politik serta orang hilang, telah membentuk grup di Facebook untuk menuntut perubahan rezim di Aljazair.

"Pembentukan grup semacam itu sebelumnya telah menumbangkan rezim dikattor di Tunisia dan Mesir. Perkembangan yang berani di kedua negara Arab itu, betapapun, punya dampak positif kepada anggota grup. Kami berniat tak akan menghentikan aksi protes di sekujur negeri, sebelum rezim ini jatuh,” ujarnya.

Bamaleh mengatakan, selaku presiden, Bouteflika telah gagal menjalankan demokrasi dan mendorong pembangunan ekonomi dan sosial yang sangat mendesak di negara itu.
Demonstrasi di Aljazair itu berlangsung sehari setelah rakyat Mesir merayakan mundurnya Presiden Housni Mubarak. Menurut harian The New York Times, para demonstran di Lapangan 1 Mei kompak berteriak, "Bouteflika mundur!". Para demonstran juga berteriak, "Kemarin Mesir, Hari Ini Aljazair."

Pan Arabisme baru?
Apa yang terjadi di Aljazair jelas terilhami pergolakan di  Mesir. Bagi pengamat Timur Tengah, Lamis Andoni, revolusi di Mesir itu kian membuktikan bangkitnya tipe baru Pan Arabisme.

Dulu, solidaritas ini didengungkan pemimpin Mesir dekade 1960an, Gamal Abdul Nasser. Tujuannya mempersatukan mereka dari penjajahan bangsa asing dan, belakangan, menjadi energi pemersatu melawan Israel.

Kini, sifat gerakan Pan Arabisme itu berubah. Menurut Andoni, solidaritas digunakan rakyat negara-negara Arab untuk melawan kekuasaan tiran di negeri mereka sendiri. 

"Tidak seperti Pan Arabisme di masa lalu, gerakan ini mewakili perjuangan rakyat agar bisa bebas dari ketakutan sekaligus membangkitkan harga diri mereka untuk menciptakan situasi yang lebih baik di masyarakat," tulis Andoni di laman stasiun berita Al Jazeera.

Menurut dia, "kearifan" lama dari semangat Pan Arabisme, yaitu bebas dari penjajahan asing, telah terganti oleh prinsip untuk merdeka dari penindasan penguasa.

Semangat baru Pan Arabisme itulah yang tengah melanda Dunia Arab. Motif dan pola perlawanan rakyat di Mesir - negara Arab terbesar - hingga di Yaman, yang dikenal sebagai anggota termiskin di Liga Arab, relatif sama.  Mereka muak dengan rezim yang terlalu lama berkuasa, tapi gagal menciptakan keadilan sosial.

Pergolakan itu digerakkan para pemuda di negara-negara Arab itu, yang piawai memanfaatkan teknologi informasi. Para demonstran di Suriah dan Yaman bisa menyaksikan dengan seksama, menit ke menit perkembangan gejolak di Mesir melalui grup di laman media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Itu sebabnya seorang eksekutif Google yang juga aktivis perlawanan di Mesir, Wael Ghonim, berterima kasih kepada pencipta laman Facebook, Mark Zuckerberg. Berkat layanan gratis Facebook, Ghonim dan para rekannya bisa membuat sejumlah grup akun mengajak massa turun ke jalan melawan rezim Mubarak.

"Saya mau ketemu Mark Zuckerberg dan ingin berterima kasih kepada dia," kata Ghonim tak lama setelah pengumuman Mubarak turun dari kekuasaan, Jumat malam 11 Februari 2011.
 



Artikel Lainnya



Andi Syahruddin